CERPEN PENGEMIS
PENGEMIS
Wanita
tua itu mulai berjalan menyusuri jalan-jalan di Ibukota, dari rumah
kardusnya, ia terus mengayunkan kakinya
selangkah demi selangkah demi sesuap nasi. Di depan sebuah pusat perbelanjaan
ia berhenti, ia mulai duduk sembari menengadahkan tangannya kepada para
pengunjung Mall. Setiap hari itulah yang bisa dilakukan olehnya karena wanita
tua itu hidup sebatang kara. Keesokan harinya, kala matahari mulai memancarkan
cahaya panasnya, dia terlihat pucat, bibirnya terlihat putih, matanya layu dan
langkahnya tertatih-tatih. Badannya yang
meriang pun tak menyurutkan langkahnya menuju Mall di dekat stasiun Senin itu.
Wanita
itu pun terjatuh didekat pos satpam pintu masuk, tubuhnya dibopong oleh
beberapa satpam itu menuju klinik Mall, ia cukup dikenal baik para satpam Mall.
Dokter klinik itu menganjurkan ia dirujuk ke Rumah sakit terdekat, karena
kondisinya semakin kritis. Pak Hari
kepala satpam yang kebetulan pernah menjadikannya pembantu merujuknya ke
RS.Fatmawati , dokter Fajar pun segera memeriksa keadaan Wanita itu. Dokter
muda itu mengatakan pada pak Hari bahwa dia menderita kanker hati, pak Hari
hanya terdiam bisu mendengar ucapan dokter itu. Dia mulai terbangun, ia melihat
dokter Fajar dengan terpaku, “ sepertinya wajah anak itu tak asing bagiku”
batinnya, belum selesai dokter Fajar menceritakan penyakit itu, pak Broto
muncul dari pintu masuk. Lelaki itu adalah ayah sang dokter, dia sedang mencari
anaknya karena ada urusahan saham yang dijalankannya bersama anaknya itu. Dia
pun menyabet tangan dokter muda itu, dan tangan kanan dokter itu terdapat tanda
lahir berbentuk lonjong ,ternyata benar dokter itu adalah darah dagingnya yang
ia buang di depan rumah pak Broto dua puluh lima tahun yang lalu.
Wanita
tua itu meneteskan air matanya, ia tak menyangka darah dagingnya kini menjadi
seorang dokter. Rasa haru bahagia menyelimuti sang Pengemis itu, tapi ia takkan
pernah bisa memeluk Fajar anaknya, ia mengusap air matanya dan meminta agar
Hari membawanya pulang. Sesampainya di rumah air matanya tak henti-henti keluar,
ia membuka selembar foto bayi laki-laki yang masih disimpan rapi dalam dompet
kusamnya. Ia teringat kejadian duapuluhlima tahun yang lalu, kala hujan deras
bercampur petir melanda perkampungan kecil di pinggir Ibukota. Rasa terpaksa
yang harus ia lakukan saat buah hatinya lahir di tengah kegundahan kehidupannya
saat itu, ia berjalan menuju utara rumahnya sejauh lima kilo meter menuju
sebuah rumah megah yang bercat abu-abu yang diparkiri lima mobil berharga
milyaran. Wanita itu berhenti di depan rumah megah itu, dan melepaskan
gendongan anaknya di atas lantai marmer di tempat pos satpam. Wanita tua itu
terus mengeluarkan air matanya saat mengingat kejadian itu, kini rasa haru
bahagia menyelimutinya.
Fajar
menyingsing dari arah timur, ayam berkokok sambil bersau-sautan, Wanita tua itu
sudah bersiap-siap menuju ke Rumah sakit tempat anank kandungnya itu bekerja,
ia ingin sekali menatap wajah putra kebanggaannya. Kaki nya yang mulai sulit
untuk berjalan tak menyurutkan langkahnya demi buah hatinya yang selama ini
dicarinya. Sesampainya di depan tempat parkir Rumah sakit, langkahnya terhenti,
dari kejauhan dilihatnya Fajar sedang menutup mobil sedannya yang di parkir
dekat ambulans. Dokter itu berhenti dari jalan cepatnya saat melihat wanita tua
itu lemas tak berdaya bersandarkan tembok putih, Fajar mulai membawanya ke
ruang rumah sakit, dirawatnya dengan penuh perhatian wanita itu. Wanita itu
mulai tersadar dari pingsannya, ia memegang erat-erat tangan dokter fajar yang
berdiri di dekat tempat tidurnya, sambil berkata “Nak, akulah ibu kandungmu”
wanita tua itu menghembuskan nafas terakhirnya. Fajar yang berada di dekatnya
hanya terdiam dan tak mengerti apa maksud perkataan pasiennya itu.
Komentar
Posting Komentar